Tulisan ini saya tulis ulang karena menarik dan sebenarnya penasaran dengan maksud terselubungnya.. hehehe..
Apa yang salah
dengan rangkaian pemilihan umum dan proses demokrasi kita? Mengapa yang
mendapat mandate politik kini satu per satu terbukti berkhianat terhadap
rakyat? Apakah Pemilu 2014 yang ada di depan mata cukup menjanjikan untuk suatu
transformasi menuju demokrasi substansial yang terkonsolidasi bias mewujud?
Apakah semua proses demokrasi ini akan berujung pada kekecewaan juga?
Gugatan ini
mengemuka saat mengambil jeda atas jalannya demokrasi Indonesia, terutama sejak
Reformasi 1998 mempercepat lajunya. Menjelang 2014, gugatan itu makin lantang
disuarakan dengan pijakan kekecewaan yang nyata.
Pemilu relative bebas,
adil dan demokratis sejak 1999. Tahun 2004, pemilu presiden langsung bahkan
disusul dengan pemilu kepala daerah. Meskipun demikian, kualitas dan
efektivitas pemerintahan hasil pemilu nyata-nyata mengecewakan publik.
Kini kita mendapati
korupsi meluas dan menjangkau aras tertinggi di negeri ini. Kita tidak terlalu
yakin kapan korupsi akan berhenti. Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap
merupakan puncak dari kekecewaan.
Apabila mau lebih
optimis, langkah tegas KPK sebenarnya menghadirkan harapan membaiknya
Indonesia. Korupsi tidak akan mendapat tempat karena siapa saja bias di
penjara. Namun, kondisi lain membuat kita harus realistis meletakkan harapan
itu.
Berakar Panjang
Tumpukan kekecewaan
ini tidak datang tiba-tiba. Melihat lebih jauh, terpetakan lima akar persoalan,
yaitu warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem otoriter
yang panjang (Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru era Soeharto); pola
transisi demokrasi tidak menjanjikan demokrasi substansial yang terkonsolidasi;
reformasi institusional tambal sulam berdampak pada pilihan-pilihan politik serba ambigu; serta pendangkalan
pemahaman politik yang bermuara pada absennya etika dan moralitas para aktor
demokrasi dan penyelenggara negara.
Dalam perspektif teoritis Alfred Stepen (1993), transisi demokrasi
setelah Orde Baru terjadi karena tekanan dan desakan kekuatan oposisi yang tidak
terlembaga. Karena tidak muncul dari dalam, perubahan mendasar tidak hadir.
Ada kesepakatan memperkuat sistem demokrasi presidensial. Namun, tidak
ada diskusi dan argument mengapa hal itu disepakati, kecuali stigma negative terhadap
demokrasi parlementer. Tidak ada upaya serius membangun skema presidensial yang
koheren dan konsisten dengan pilihan sistem perwakilan, sistem pemilu, dan
sistem kepartaian.
Inkonsistensi itu tampak dalam perluasan otoritas presiden. Pada saat
bersamaan, politik tidak dilihat sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan
keutamaan bagi kehidupan kolektif. Politik menjadi sangat konkret: hanya soal
kekuasaan yang terdiri atas bagaimana merebut dan kemudian mempertahankan.
Tidak penting apakah kekuasaan itu bermanfaat atau justru menjadi monster
penghancur kolektivitas bangsa.
Pendangkalan pemahaman yang sama berlaku atas partai politik, pemilu,
dan demokrasi. Tidak heran jika para elite parpol setelah Soeharto tidak punya
proposal genuine mengenai reformasi.
Tidak juga memiliki visi bagaimana seharusnya bangsa ini ditata ulang untuk
mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan. Akibatnya, parpol
yang seharusnya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa
justru menjadi tempat mencari nafkah dalam pengertian sepenuh-penuhnya. Dalam
ungkapan Bung Hatta, “Partai dijadikan tujuan dan Negara sebagai alatnya.”
Pendangkalan terjadi dalam kancah politik kita.
Bola Liar
Menghadapi pendangkalan ini, apa yang bisa dilakukan? Sebelum menjawab,
perlu dipetakan masalah yang nyata di depan mata dan dianggap seolah-olah tidak
ada. Format pemilu presiden tidak menjanjikan presiden yang mumpuni
kemampuannya dan akuntabel. Format pemilu legislatif demikian juga karena
bertumpu pada popularitas, kemampuan finansial, dan hubungan nepotis Tradisi
seleksi kepemimpinan belum melembaga.
Dalam kondisi ini, penataan menyeluruh diperlukan agar pilihan atas
skema sistem demokrasi presidensial koheren dan konsistensi dengan pilihan
sistem perwakilan, skema dan format pemilu, serta sistem kepartaian. Jika
amandemen kelima konstitusi diniscayakan, perlu kesepakatan nasional agar tak
menjadi “bola liar” mengarah pada tambal sulam baru hasil amandemen.
Perlu ditata skema pemilu yang mengarah pada penyelenggaraan pemilu
presiden dan pemilu legislative secara simultan / serentak agar format pemilu
presiden dan koalisi tidak “didikte” hasil pemilu legislatif. Pemilu presiden
dan pemilu legislatif serentak menjadi “pemilu nasional” yang diselenggarakan
2,5 tahun mendahului “pemilu lokal” untuk memilih kepala daerah dan anggota
DPRD.
Perubahan ini tidak bisa diharapkan semata-mata dari elite parpol.
Rakyat selaku pemilik kedaulatan dan pemberi mandate politik dalam pemilu harus
terus meneriakkan ketidakadilan, kebusukan, ketakpedulian, dan sikap mati rasa
para elite penyelenggara negara atas nasib dan masa depan bangsa.
Kerja sama dan konsolidasi sejumlah elemen masyarakat sipil diperlukan.
Perlu kerja besar pencerdasan dan penyadaran rakyat sebagai “warga negara”,
buka sekedar “massa” yang mudah diprovokasi dan dimanipulasi oleh mereka yang “mengail
di air politik yang keruh” untuk kepentingan mereka masing-masing.
Tanpa mengupayakan langkah-langkah ini, kancah politik kita akan semakin
dangkal dan akan segera tiba saatnya karam.
Copas : Kompas 27 Desember 2013 hal. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar